Berdasarkan kedalaman hiposenternya, Gempa Bumi dapat dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:
a. Gempa bumi Dangkal
Gempa bumi dangkal adalah gempa bumi yang hiposenternya berada kurang dari 50 km dari permukaan bumi. Di Indonesia Gempa bumi dangkal letaknya terpencar di sepanjang sesar aktif dan patahan aktif. Gempa ini menimbulkan kerusakan besar dan semakin dangkal tempat terjadinya maka kerusakan semakin besar.
Gempa bumi dangkal menimbulkan efek goncangan dan kehancuran yang lebih dahsyat dibanding gempa bumi dalam. Ini karena sumber gempa bumi lebih dekat ke permukaan bumi sehingga energi gelombangnya lebih besar. Karena pelemahan energi gelombang akibat perbedaan jarak sumber ke permukaan relatif kecil [2].
b. Gempa bumi Menengah
Gempa bumi menengah adalah gempa bumi yang hiposenternya berada antara 50 km–300 km di bawah permukaan bumi. Di Indonesia Gempa bumi ini terbentang sepanjang Sumatra sebelah Barat, Jawa sebelah Selatan, selanjutnya Nusa Tenggara antara Sumbawa dan Maluku, sepanjang Teluk Tomini, dan Laut Maluku sampai Filipina. Gempa ini dengan focus kurang dari 150 km dibawah permukaan bumi masih dapat menimbulkan kerusakan.
c. Gempa bumi Dalam
Gempa bumi dalam adalah gempa bumi yang hiposenternya berada lebih dari 300 km di bawah permukaan bumi. Di Indonesia Gempa bumi ini berada di Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda dan Laut Sulawesi. Gempa ini tidak membahayakan.
[2] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012. GempabumiEdisi Populer
Penulis : Ir. Heri Khoeri, MT.
Tulisan ini adalah bagian ke enam dari sebuah pengantar tulisan selanjutnya tentang Bangunan Tahan Gempa.
Daftar Tulisan Selengkapnya:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Banyak pendekatan dan teknik yang telah diteliti dan diterapkan selama 30 (tiga puluh) tahun lebih untuk memperkuat struktur eksisting. Beberapa diantaranya adalah dengan menambah kekakuan struktur, melakukan perubahan dengan menghilangkan atau mengurangi ketidak beraturan maupun diskontinuitas dalam penyebaran distribusi kekakuan dan kekuatan pada suatu bangunan.
Tujuan utama dari perkuatan struktur adalah:
1) menambah kekuatan;
2) Menambah daktilitas;
3) Meningkatkan kekuatan dan daktilitas
Teknik Perkuatan Untuk Perbaikan Performa Seismik Struktur
Kesemuanya adalah untuk memenuhi performa seismic yang dibutuhkan.
Gambar berikut menunjukkan berbagai teknik yang biasa diterapkan dan terus diteliti beradaptasi dengan kondisi gempa yang telah terjadi dan kemungkinan yang diprediksi akan terjadi.
Performa yang dibutuhkan dinilai dari sisi kekuatan dan daktilitas. Kombinasi antara kekuatan dan daktilitas meliputi keselarasan antara kekuatan dan kekakuan.
Memberikan penambahan kekuatan adalah pendekatan yang direkomendasikan untuk bangunan bertingkat rendah sampai bertingkat sedang (low-to medium-rise building).
Bahkan jika daktilitas yang ada sudah memadai, penambahan kekuatan tetap diperlukan untuk mengurangi goyangan inelastik.
Tipikal hubungan gaya geser dan deformasi lateral beberapa teknik perkuatan seperti ditunjukkan pada peningkatan gambar berikut:
Penggunaan steel straps jacketing juga sudah mulai banyak digunakan, berikut penggunaan praktisnya (Ezz-Eldeen, H. A., 2016)
Selain dengan memperkuat dan menambah kekakuan sistem struktur, teknik lain adalah dengan menambahkan alat yang mampu mendisipasi energi gempa, sehingga gaya yang harus ditahan sistem struktur menjadi berkurang.
Dalam studi kasus perkuatan perkuatan struktur Kantor Pusat Bank Sulteng yang dilakukan HESA, 2018, pasca gempa Palu, dimana hasil kajian menunjukkan bahwa struktur memiliki daktilitas yang cukup baik, namun dari hasil analisis struktur diperlukan perkuatan untuk memenuhi standar peraturan yang berlaku.
Seperti digambarkan oleh Sugano (1996) pada gambar di atas penambahan dinding pengisi meningkatkan performa seismic paling tinggi dibandingkan yang lain, namun perlu juga dipertimbangkan ketersediaan space (jalur evakuasi dan sirkulasi), kemudahan pelaksanaan, efek penambahan berat sendiri dinding kaitannya dengan daya dukung pondasi, sehingga dalam kajian hasil kajian merekomendasikan perkuatan dengan menggunakan metode jacketing fyber carbon untuk meningkatkan performa struktur bangunan terhadap gempa.
[4] Ezz-Eldeen, H. A., 2016. Steel Jacketing Technique used in Strengthening Reinforced Concrete Rectangular Columns under Eccentricity for Practical Design Applications, International Journal of Engineering Trends and Technology (IJETT) – Volume 35 Number 5- May 2016.
[5] HESA, 2018. Laporan Akhir Assessment Struktur Kantor Pusat Bank Sulteng.
[6] HESA, 2018. Laporan Akhir Disain Engineering Design Perkuatan Struktur Kantor Pusat Bank Sulteng.
Penulis: Ir Heri Khoeri, MT
Tulisan ini bagian ketiga dari 3 tulisan tentang Seismik Struktur:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Gempa bumi yang terjadi pada suatu daerah bisa merupakan gempa yang berskala besar maupun gempa yang berskala kecil. Besar kecilnya gempa itu dikarenakan beberapa faktor.
a. Skala atau magnitude gempa, yaitu kekuatan gempa yang terjadi yang bukan berdasarkan lokasi observasi pada suatu daerah. Magnitude gempa biasa dihitung tiap gempa terjadi dan dicatat oleh seismograf yang dinyatakan dalam satuan skala magnitudo.
b. Intensitas gempa, yaitu lamanya guncangan gempa yang terjadi pada suatu daerah dan kekuatan gempa yang terjadi dengan melihat kerusakan pada daerah tempat terjadinya gempabumi.
c. Jarak sumber gempa terhadap perkotaan. Jarak sumber gempa yang jauh dari perkotaan akan memungkinkan intensitas gempa semakin rendah.
d. Kedalaman sumber gempa, yaitu kedalaman pusat terjadinya gempa diukur dari permukaan bumi. Semakin dalam pusat gempa maka semakin rendah kekuatan gempa yang terjadi.
e. Kualitas tanah dan bangunan, kualitas tanah yang buruk akibat bangunan dapat mengakibatkan serangan gempabumi yang kuat.
f. Lokasi gempa. Lokasi perbukitan dan pantai, merupakan daerah rawan gempa karena perbukitan dan pantai merupakan daerah pertemuan lempeng sehingga dapat mempengaruhi besar kecil kekuatan gempa berdasarkan hiposentrumnya.
Gambar berikut memperlihatkan anatomi gempa bumi:
REFERENSI
[1] United States Geological Survey
[2] Science Probo Library.
Penulis : Ir. Heri Khoeri, MT.
Tulisan ini adalah bagian ke lima dari sebuah pengantar tulisan selanjutnya tentang Bangunan Tahan Gempa.
Daftar Tulisan Selengkapnya:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Untuk mengembalikan performa struktur, memperbaiki kerusakan struktur atau bagian struktur yang performanya menurun dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan menggunakan material yang tepat, atau bisa juga dengan mengganti elemen struktur yang rusak atau hanya sebagian dari elemen yang rusak tentunya dengan material yang tepat.
Untuk meningkatkan performa struktur ada beberapa pendekatan. Pendekatan umum yang dapat dilakukan untuk meningkatkan performa struktur adalah dengan memberikan penambahan kekakuan atau dengan penambahan perkuatan.
Untuk mengurangi respon struktur seperti goyangan (perpindahan lateral) maka bangunan harus diperkaku.
Ketidakteraturan atau diskontinyuitas kekakuan atau diskontinyuitas kekuatan yang akan menyebabkan kegagalan atau distorsi yang besar pada bagian-bagian bangunan harus dihilangkan (atau dikurangi) yang bisa dilakukan dengan mengubah konfigurasi sistim struktur.
Untuk mengurangi respon seismik bisa juga dilakukan dengan menambah alat untuk mendisipasi energi pada struktur sehingga kemampuan struktur untuk mendisipasi energi seismik meningkat, artinya performa struktur juga meningkat.
Konsep lainnya untuk mereduksi energi seismik adalah dengan mengisolasi struktur dari tanah (seismik isolation), atau bisa juga dengan mengurangi massa bangunan.
Gambar berikut menggambarkan strategi dan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengembalikan performa, meningkatkan performa dan mengurangi respon seismik:
Ilustrasi pada gambar di bawah ini menunjukkan perbandingan antara struktur bangunan yang tidak menggunakan seismic isolation dan yang menggunakan seismic isolation, dalam gambar tersebut terlihat penggunaan seismic isolation mereduksi energi seismik adalah dengan mengisolasi struktur dari tanah (seismik isolation).
Perbandingan rasio story drift dan overturning moment antara struktur tanpa viscoelastic damper dan struktur dengan viscoelastic damper seperti diperlihatkan pada dua grafik berikut ini:
Dalam kasus-kasus tertentu bangunan-bangunan penting harus direncanakan tetap dapat berfungsi setelah terjadinya gempa, misalkan pada studi kasus audit struktur yang dilakukan PT. HESA LARAS CEMERLANG pada 4 (empat) buah gedung BRI di Kawasan Pasar Minggu Jakarta, Pasca Gempa yang mengguncang Jakarta pada Januari 2018, menunjukkan bahwa salah satu gedung yaitu gedung Satelit memang didisain memiliki performa seismik yang lebih tinggi dibandingkan dengan 3 (tiga) gedung lainnya.
Dalam studi kasus lain yaitu pada bangunan unit proses Instalasi Pengolahan Air Pulogadung yang juga merupakan bangunan penting, yang dibangun tahun 1980-an, walaupun awalnya didisain tahan gempa sesuai dengan peraturan yang berlaku saat itu namun sejalan dengan umur bangunan, tentunya terjadi penurunan performa struktu, juga adanya perubahan peraturan yang dipakai mengharuskan dilakukan perkuatan dan meningkatkan kekakuannya.
Menghadapi kasus seperti ini perlu dipertimbangkan apakah perkuatan yang dilakukan akan bernilai lebih ekonomis dibandingkan dengan mendemolishnya dan membuat struktur baru.
[5] Vijay, U. P., Kannan Rajkumar, P. R., and Ravichandran, P. T., 2015. Seismic Response Control of RC Structure using ViscoElastic Dampers, Indian Journal of Science and Technology, Vol 8(28), DOI: 10.17485/ijst/2015/v8i28/85366, October 2015
[6] HESA, 2018. Laporan Audit Struktur Gedung BRI Pasar Minggu.
[7] HESA, 2019. Audit Struktur IPA Pulogadung.
Penulis: Ir Heri Khoeri, MT
Tulisan ini bagian kedua dari 3 tulisan tentang Seismik Struktur:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Berdasarkan atas penyebabnya gempa bumi dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam diantaranya: tektonik, vulkanik, runtuhan, jatuhan meteor, dan gempa bumi buatan manusia [1].
Penyebab terjadinya Gempa bumi Menurut teori lempeng tektonik, permukaan bumi terpecah menjadi beberapa lempeng tektonik besar. Lempeng tektonik adalah segmen keras kerak bumi yang mengapung di atas astemosfer yang cair dan panas. Sehingga lempeng tektonik ini bebas untuk bergerak dan saling berinteraksi satu sama lain.
Daerah perbatasan lempeng-lempeng tektonik merupakan tempat-tempat yang memiliki kondisi tektonik yang aktif yang menyebabkan gempa bumi, gunung berapi dan pembentukan dataran tinggi.
Lapisan paling atas bumi, yaitu litosfir, merupakan batuan yang relatif dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan ini terdapat batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantel.
Lapisan ini sedemikian panasnya sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku, sehingga dapat bergerak sesuai dengan proses pendistribusian panas yang kita kenal sebagai aliran konveksi.
Lempeng tektonik yang merupakan bagian dari litosfir padat dan terapung di atas mantel ikut bergerak satu sama lainnya.
Ada tiga kemungkinan pergerakan satu lempeng tektonik relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu apabila kedua lempeng saling menjauhi (divergen), saling mendekati (konvergen) dan saling geser (transform). Convergent sendiri ada dua jenis, yaitu subduction (dimana terjadi penunjaman) dan collision (terjadi pengangkatan seperti Himalaya).
Umumnya, gerakan ini berlangsung lambat dan tidak dapat dirasakan oleh manusia namun terukur sebesar 0-15 cm per tahun.
Kadang-kadang, gerakan lempeng ini macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung terus sampai pada suatu saat batuan pada lempeng 76 tektonik tersebut tidak lagi kuat menahan gerakan tersebut sehingga terjadi pelepasan mendadak yang kita kenal sebagai gempa bumi.
REFERENSI
[1] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012. GempabumiEdisi Populer
[2] Dilek, Y., Pavlides, S., 2006. Postcollisional Tectonics and Magmatism in the Mediterranean Region and Asia, Geological Society of America.
Penulis : Ir. Heri Khoeri, MT.
Tulisan ini adalah bagian ke empat dari sebuah pengantar tulisan selanjutnya tentang Bangunan Tahan Gempa.
Daftar Tulisan Selengkapnya:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Artikel tentang teknik perkuatan seismik struktur ini ditulis berdasarkan hasil kegiatan Audit Bangunan yang dilakukan oleh PT. HESA LARAS CEMERLANG pada struktur gedung, dimana seringkali kami memberikan rekomendasi kepada pemilik gedung untuk melakukan perkuatan seismik.
Ada dua penyebab utama mengapa harus dilakukan perkuatan, yaitu:
(1) untuk memenuhi syarat kekuatan sesuai peraturan yang terbaru (perubahan peraturan, misalnya dari SNI 03-1726-2002 ke SNI 1726-2012),
(2) untuk perbaikan kerusakan struktur pasca terjadinya gempa.
Teknik Perkuatan Seismik Struktur
Untuk struktur gedung yang mengalami kerusakan akibat gempa, selain untuk pengembalian kondisi agar bangunan gedung dapat dipergunakan pasca gempa (post-earthquake rehabilitation), tentu saja perkuatan yang dilakukan harus memenuhi ketentuan dalam peraturan gempa yang terbaru.
Sedangkan untuk bangunan gedung yang tidak memenuhi peraturan gempa yang terbaru walaupun hasil pemeriksaan terindikasi tidak mengalami kerusakan pasca terjadinya gempa tetap direkomendasikan untuk dilakukan perkuatan (pre-earthquake rehabilitation) agar memenuhi syarat kekuatan dan daktilitas untuk menambah tingkat keamanan pada penggunanya.
Dalam 30 (tiga puluh) tahun terakhir atau lebih sampai sekarang telah banyak dilakukan penelitian untuk mendapatkan metode perkuatan seismik baik untuk perbaikan pre-earthquake maupun perbaikan post-earthquake.
Teknik-teknik perbaikan yang dikembangkan antara lain adalah dengan mengisi portal dengan beton atau batu bata, dengan memberikan brasing pada portal, dengan menambah kolom, dengan memperbesar kolom (jacketing) baik dengan beton, beton bertulang, baja ataupun dengan Fyber Carbon.
Dengan cara memberikan isolasi seismik, dengan mengurangi massa bangunan atau dengan menambah redaman bangunan yang kesemuanya dilakukan untuk mengurangi respons struiktur saat gempa dan atau menambah kekuatan struktur.
Untuk memilih strategi perbaikan performa seismik dan teknik perkuatan yang tepat harus selain mempertimbangkan faktor kekuatan dan daktilitas struktur untuk menjamin keselamatan penggunanya.
Juga harus mempertimbangkan biaya, faktor keutamaan bangunan (misalnya.bangunan strategis seperti pembangkit listrik harus memiliki performa yang lebih dibanding rumah tinggal, karena harus tetap berfungsi pasca gempa agar tidak terjadi dampak buruk susulan akibat tidak berfungsinya pembangkit tersebut), kemudahan dalam pelaksanaan.
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0812 9144 2210 or follow this link : Hesa Admin
Intensitas gempa bumi adalah besaran kerusakan yang diakibatkan oleh gempa bumi di lokasi tertentu dan efeknya terhadap manusia dan infrastruktur. Intensitas ditentukan berdasarkan kekuatan gempa bumi, jarak antara gempa bumi dengan epicenter dan kondisi geologi lokal [1].
Intensitas dihitung berdasarkan pengamatan visual langsung terhadap kerusakan akibat gempa bumi, dan intensitas ini dapat memberikan gambaran nilai kekuatan gempa bumi pada pusat gempanya.
Untuk memberikan informasi yang lebih mudah BMKG menggunakan skala SIG (Skala Intensitas Gempa bumi). Skala ini menyatakan dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya gempa bumi.
Skala Intensitas Gempa bumi (SIG-BMKG) digagas dan disusun dengan mengakomodir keterangan dampak gempa bumi berdasarkan tipikal budaya atau bangunan di Indonesia.
Skala ini disusun lebih sederhana dengan hanya memiliki lima tingkatan yaitu I-V.
SIG-BMKG diharapkan bermanfaat untuk digunakan dalam penyampaian informasi terkait mitigasi gempa bumi dan atau respon cepat pada kejadian gempa bumi merusak.
Skala ini dapat memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk dapat memahami tingkatan dampak yang terjadi akibat gempa bumi dengan lebih baik dan akurat.
Tabel Skala Intensitas Gempa bumi BMKG [2]
Dalam kolom ke-5 dituliskan pula Skala MMI (Modified Mercalli Intensity) skala untuk mengukur kekuatan gempa bumi yang merupakan modifikasi dari skala Mercalli (skala yang digagas seorang vulkanologis asal Italia Giuseppe Mercalli pada tahun 1902) yang dilakukan seismologi Harry Wood dan Frank Neumann tahun 1931. Dimana intensitas gempa dibagi menjadi 12, seperti berikut ini:
Tabel Skala Intensitas MMI [3]
Perlu diperhatikan bahwa skala intensitas bukan skala magnitudo.
Intensitas dihitung berdasarkan pengamatan visual langsung terhadap kerusakan akibat gampabumi, dan intensitas ini dapat memberikan gambaran nilai kekuatan gempa bumi (magnitude) pada pusat gempanya.
Pada umumnya, untuk menentukan secara tepat intensitas dari suatu gempa bumi di suatu daerah, dikirimkan suatu tim peneliti yang langsung terjun ke lapangan atau daerah dimana terdapat efek atau pengaruh gempa bumi tersebut.
Pengamatan ini perlu pengetahuan mengenai kondisi geologi dan tipe konstruksi bangunan.
Perbedaan magnitudo dengan intensitas dari suatu gempa bumi adalah magnitudo dihitung dari catatan alat sedangkan intensitas didasarkan atas akibat langsung dari getaran gempa bumi.
Magnitudo mempunyai harga yang tetap untuk sebuah gempa, tetapi intensitas berbeda dengan perubahan tempat. Untuk menghindari kerancuan antara besaran magnitude dengan skala intensitas, maka skala intensitas ditulis dengan angka Romawi.
Pada kolom ke-6 SIG BMKG tertulis PGA (gal), PGA (Peak ground acceleration) adalah percepatan tanah maksimum yang terjadi selama gempa bumi yang merupakan amplitudo percepatan absolut terbesar yang tercatat pada accelerograph di suatu lokasi saat terjadi gempa bumi tertentu.
Satuan yang digunakan adalah gal (cm/det2). Karena umumnya gempa bumi terjadi ketiga arah maka PGA sering dibagi menjadi komponen horisontal dan vertikal. PGA horizontal umumnya lebih besar daripada yang vertikal walaupun tidak selalu begitu.
Tidak seperti skala Richter dan skala momen yang menunjukkan total energy (besaran atau ukuran gempa bumi), namun PGA menunjukkan seberapa keras bumi bergetar pada lokasi tertentu yang diukur dengan accelerograph [4].
Penulis : Ir. Heri Khoeri, MT.
Tulisan ini adalah bagian ke tiga dari sebuah pengantar tulisan selanjutnya tentang Bangunan Tahan Gempa.
Daftar Tulisan Selengkapnya:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Retak pada struktur beton adalah suatu keadaan dimana terjadi pecah atau pemisahan suatu struktur, tanpa terjadi keruntuhan. Pada keaadaan dimana retak sudah terjadi, maka secara otomatis terbuka juga akses buat masuknya bahan berbahaya kimia, polusi, chloride dan lain sebagainya ke dalam struktur.
Tingkatan keparahan suatu kerusakan akibat retak tergantung pada lebar retak, banyaknya retak dan endapan yang ada pada daerah retak.
Retak menjadi jenis kerusakan yang paling umum pada struktur beton bertulang ataupun beton pratekan. Retak yang terjadi bisa saja berupa retak halus yang kemudian hari akan tampak seperti retak susut.
Retak yang terlihat secara visual biasanya retak dengan lebar sekitar 0,1 mm atau lebih lebar, yang berupa retak menerus atau berbentuk pola tertentu yang dapat dipetakan dan dimensinya yang dapat dideteksi kedalaman dan penyebarannya.
Retak halus seringkali akan terlihat pada waktu beton basah dan permukaannya mengering, tetapi secara umum hal ini tidak terlihat secara nyata.
Retak yang terlihat secara kasat mata yaitu retak dengan lebar sekitar 0,1 mm atau lebih, dan bentuknya dapat memanjang atau berbentuk suatu pola tertentu yang dimensi serta distribusi dan penetrasinya tercatat.
Peralatan crackmeter dapat mengidentifikasi lebar retak yang ada sedangkan kedalaman retak dapat diperiksa dengan Test UPV (Ultra Pulse Velocity).
Retak tersebut dapat diberi tanda dengan kapur atau spidol dengan warna yang mencolok, sehingga mudah dideteksi perkembangannya dan mudah dideteksi pada pemeriksaan berikutnya.
Retak tidak selalu membahayakan terhadap kinerja struktur
Beton akan retak pada daerah tarik, sebelum baja tulangan mengambil alih tegangan tarik yang terjadi, dan hal ini sudah harus diperhitungkan pada waktu perancangan (in design) sesuai dengan peraturan tentang beton yang berlaku.
Apabila lebar retak lebih besar dibandingkan dengan batasan dalam perancangan, umumnya tebal selimut beton yang kurang dapat mengakibatkan terjadinya retak. Karena kurangnya proteksi terhadap baja tulangan.
Retak pada beton dapat juga terjadi pada beton massa (beton yang bervolume besar) yang menyebabkan:
Hilangnya keutuhan dan kesatuan struktural
Akan terjadinya bocor
Umur rencana menjadi lebih pendek
Secara estetika kurang baik
Masuknya air ke dalam struktur dan menyebabkan korosi pada baja tulangan
Perkiraan Penyebab Keretakan Struktur Beton
Ada beberapa jenis retak yang terjadi, jenis penyebabnya antara lain:
Susut plastis dan susut settlement
Susut kering
settlement
Struktur yang tidak memadai kekuatannya
Reaksi agregat
Korosi baja tulangan
Retak akibat suhu terlalu tinggi pada awal pengeringan
Serangan sulfat
Akibat lingkungan yang mengandung garam
Karakteristik pola retak yang terlihat pada gambar di atas, dalam praktek, beberapa gaya mempunyai kontribusi dalam pembentukan pola retak termasuk beban (momen, tarik, geser, torsi, beban titik), beban berlebih, penurunan struktur (settlement), terbakar, tumbukan atau adanya tekanan yang tidak pada tempatnya.
Tabel Klasifikasi tingkat bahaya struktur akibat retak
Tabel jenis kerusakan beton dan alternative penanganannya
Panduan ini dapat dijadikan hipotesa awal atas kerusakan beton, tentunya perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui pengujian NonDestructive Test dan analisis struktur untuk memastikan bahwa kondisi yang ada masih tidak membahayakan pengguna bangunan, atau kalaupun perlu dilakukan perbaikan, perbaikan yang dilakukan dapat meningkatkan performa struktur dengan biaya yang paling ekonomis.
Informasi tentang Pengujian Struktur Beton dengan Destructive atau NonDestructive Test, silahkan menghubungi kami melalui:
Magnitudo merupakan perhitungan kuantitatif yang menunjukkan besaran gempa bumi.
Magnitudo dihitung berdasarkan terjadinya pergerakan atau pergeseran tanah dari episenter gempabumi dengan menggunakan seismograf sehingga perhitungannya dapat dinyatakan berdasarkan pengukuran amplitudo maksimum yang tercatat di seismograf [1].
Ada beberapa skala yang biasa digunakan untuk menyatakan besaran (Magnitude) Gempa bumi, diantaranya yang sering digunakan adalah skala Richter.
Selain Skala Richter yang merupakan Magnitudo lokal, ML (Local Magnitude), ada beberapa definisi magnitudo yang dikenal dalam kajian gempa bumi adalah Magnitudo permukaan, Ms (Surface Magnitude) yang menggunakan fase gelombang permukaan Rayleigh, Mb (body waves magnitude) diukur berdasar amplitudo gelombang badan, baik P maupun S.
Skala magnitude lainnya yang lebih canggih yang mampu menyatakan jumlah energi dari sumber gempa bumi secara lebih akurat adalah Magnitudo momen (moment magnitudo), Mw.
Magnitudo momen, Mw adalah pengukuran kekuatan gempabumi berdasarkan energi yang dilepaskan.
Penghitungan Magnitude adalah moment gempabumi berbanding lurus dengan kekerasan bumi dikali jumlah rata-rata pergeseran patahan dan area yang mengalami pergeseran [1].
Magnitudo yang berkaitan dengan momen seismik namun tidak bergantung dari besarnya magnitudo permukaan.
Namun pengukuran magnitudo momen lebih kompleks dibandingkan pengukuran magnitudo ML, Ms dan Mb. Karena itu, penggunaannya juga lebih sedikit dibandingkan penggunaan ketiga magnitudo lainnya [2].
Saat ini BMKG menggunakan Magnitudo Momen untuk menyatakan besaran gempa.
Penulis : Ir. Heri Khoeri, MT.
Tulisan ini adalah bagian kedua dari sebuah pengantar tulisan selanjutnya tentang Bangunan Tahan Gempa.
Daftar Tulisan Selengkapnya:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Gempa bumi (earthquake) adalah peristiwa bergetar atau bergoncangnya bumi karena pergerakan/ pergeseran lapisan batuan pada kulit bumi secara tiba‐tiba akibat pergerakan lempeng‐lempeng tektonik.
Gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas pergerakan lempeng tektonik disebut gempa bumi tektonik. Namun selain itu, gempa bumi bisa saja terjadi akibat aktivitas gunung berapi yang disebut sebagai gempa bumi vulkanik [1].
Pergeseran batuan terjadi akibat adanya tekanan dan tarikan pada lapisan bumi yang terus menerus sehingga terjadi pengumpulan energi dan pada suatu saat batuan pada lempeng tektonik tidak mampu lagi menahan gerakan tersebut dan terjadilah pelepasan energi yang disebut gempa bumi.
Akumulasi energi penyebab terjadinya gempa bumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi ini dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempa bumi sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi. Semakin besar energi yang dilepaskan maka semakin kuat gempa bumi yang terjadi.
Gempa bumi sebenarnya terjadi hampir setiap hari, namun kebanyakan berkekuatan kecil dan tidak menyebabkan kerusakan yang berarti. Gempa bumi berkekuatan kecil juga dapat mengiringi terjadinya gempa bumi yang lebih besar dan dapat terjadi sesudah atau sebelum gempa bumi besar tersebut terjadi.
Pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat setelah terjadi gempa adalah tentang kapan terjadinya, dimana sumber gempa, seberapa besar kekuatan, apakah ada kemungkinan gempa susulan, dan kapan gempa bumi tersebut bisa berakhir sehingga para korban bisa merasa aman dari bahaya gempa bumi susulan berikutnya.
Parameter sumber gempa bumi yang sering dianalisis adalah waktu asal gempa, posisi lintang dan bujur episenter gempa, kedalaman sumber gempa, waktu kejadiangempa, dan ukuran kekuatan atau magnitudo gempa, serta intensitas gempa.
Penulis : Ir. Heri Khoeri, MT.
Tulisan ini adalah bagian pertama dari sebuah pengantar tulisan selanjutnya tentang Bangunan Tahan Gempa.
Berikut urutan artikel bersambung berkaitan dengan gempa bumi ini:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp
Masa guna elemen struktur beton bertulang diartikan bahwa elemen struktur beton bertulang sudah tidak mampu menahan beban berulang.
Beban berulang dapat menyebabkan kelelahan (fatigue) pada struktur beton bertulang dimulai dari retak mikro, kemudian jika dibiarkan akan terjadi perambatan retak dan akhirnya mengalami keruntuhan bila keadaan batas lelah (fatigue limit state) terlampaui.
Tahapan kerusakan ini disebut Mekanisme kerusakan akibat kelelahan (fatigue Mechanism).
Retak Mikro: Kegagalan kelelahan dimulai dengan pembentukan celah kecil yang umumnya terlihat pada permukaan luar
Perambatan Retak: berawal dari terjadinya retak pada permukaan luar, kemudian secara perlahan merambat ke dalam material dengan arah yang kira-kira tegak lurus terhadap sumbu tarik utama. Hal tersebut menyebabkan melemahnya kekuatan material.
Patah: Retak akibat kelelahan sedikit demi sedikit masuk lebih dalam setiap siklus tegangan yang terlihat dari permukaan sebagai garis riak berganda sampai akhirnya patah.
Kelelahan (fatigue) merupakan fenomena terjadinya kerusakan material karena pembebanan yang berulang.
Secara umum apabila pada suatu material dikenakan tegangan berulang, maka material tersebut akan patah pada tegangan yang jauh lebih rendah dibandingkan tegangan yang dibutuhkan untuk mematahkannya pada beban statik.
Kerusakan tipe ini disebut fatigue failures yang biasanya timbul pada daerah dimana terjadi konsentrasi tegangan, kondisi permukaan dan ketidaksempurnaan dari tinjauan metalurgi.
Proses kerusakan dimulai dari pembebanan berulang pada material selama waktu tertentu sehingga terbentuk regangan plastis pada daerah konsentrasi tegangan.
Regangan plastis ini akan memicu terbentuknya inisiasi retak. Tegangan tarik kemudian akan memicu inisiasi retak untuk tumbuh dan merambat sampai terjadinya kerusakan. Dalam dunia perekayasaan, kelelahan material merupakan penyebab utama (sekitar 90%) kegagalan pada struktur.
Lebar retak pada pembebanan berulang untuk pelat beton bertulang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
rasio tegangan baja;
selimut beton;
rasio tulangan;
frekuensi beban;
kedalaman retak; dan
lebar retak awal beban statik.
Untuk memprediksi lebar retak maksimum pada pembebanan berulang, sejumlah persamaan dikembangkan berdasarkan pendekatan mekanika retakan.
Lebar retak yang berlebihan akan menyebabkan kekuatan struktur berkurang secara signifikan. Masalah retak pada pelat beton bertulang dapat terjadi dengan berbagai penyebab antara lain :
akibat beban yang bekerja melebihi beban rencana,
adanya aksi tambahan yang belum diperhitungkan membebani sistem struktur
Lebar retak yang melampaui batas pada struktur beton dapat menimbulkan bahaya korosi pada tulangan baja. Bila proses korosi dibiarkan dapat mengurangi kekuatan tulangan yang selanjutnya struktur akan mengalami keruntuhan.
Pengaruh beban berulang pada beban kerja, working load, sangat penting untuk beberapa struktur, terutama bila struktur berada dilingkungan yang korosif, yang mana dapat mengakibatkan kekuatan lekat antara baja tulangan dan beton berkurang sehingga lebar retak akan bertambah besar, selain itu juga kekuatan adhesi antara baja tulangan dan beton sekelilingnya menjadi hilang dan tegangan lekat hanya ditimbulkan oleh aksi mekanik saja.
Untuk menghindasi kerusakan tiba-tiba pada tingkat tegangan di bawah tegangan leleh maka perlu memasukkan faktor ketahanan lelah dalam perencanaan elemen struktur.
Dengan mengetahui kekuatan lelah maka dapat diprediksi umur lelah elemen struktur. Dalam perencanaan dengan metode kekuatan batas, lebar retak merupakan salah satu dari persyaratan kemampuan layan yang perlu diperhitungkan.
Didalam memprediksi umur lelah, terdapat tiga pendekatan yaitu :
pendekatan tegangan (stress approach) atau metode umur-tegangan (stress life method),
pendekatan regangan (strain approach) atau istilah lain metode umur-regangan (strain-life method) dan
pendekatan mekanika patahan (fracture mechanics).
Pada tahun 1907, Van Ornum melakukan tes pada prisma 5” x 5” x 12” berumur 1 (satu) bulan dan 1 (satu) tahun. Beban yang diulang bervariasi dari hampir nol hingga maksimum, dan diterapkan pada frekuensi 2 sampai 4 cpm. Sebagian dari data dengan kurva perkiraan dari tesnya (tahun 1903), ditunjukkan pada Gambar berikut:
Kemungkinan mode kegagalan geser pada balok dengan perkuatan geser diperlihatkan pada gambar berikut:
Baik beton maupun tulangan menunjukkan fenomena kelelahan di bawah pembebanan yang berulang. Dalam kelelahan beton bertulang dapat menyebabkan kegagalan tekan, lentur, geser atau ikatan antara beton dan tulangan.
Rentang tegangan yang dapat dipertahankan oleh tulangan tanpa kegagalan kelelahan tergantung pada tegangan minimum.
Tulangan ulir memiliki kekuatan kelelahan lebih kecil dibandingkan tulangan polos. Tulangan dengan las memiliki kekuatan lelah aksial 50% lebih rendah dibandingkan tulangan menerus. Korosi dapat mengurangi kekuatan lelah hingga 35% [4].
Kondisi kelelahan struktur beton bertulang harus diperhitungkan baik dalam disain struktur baru terlebih lagi dalam assessment struktur eksisting.
[1] Moore H.F. and Kommers J.B. (1927), “The Fatigue of Metals.” McGraw-Hill, Ch. XI,pp. 251-289
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1
Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia
Email: kontak@hesa.co.id
Telp: (021) 8404531
Mobile : 081291442210
Whatsapp Bussines : 0811 888 9409 or click this Link : Whatsapp
Studi Kasus : Bangunan Rumah Pompa Air Baku PT. Aetra Air Jakarta – Pulogadung Oleh: Tika Syahfitrianie 1), Doddy Alexandra2)
1) Engineer Teknik Geodesi dan Geomatika – PT. Hesa Laras Cemerlang,
2) Surveyor – PT. Hesa Laras Cemerlang
Abstrak
Setiap bangunan gedung dibangun untuk memenuhi atau melayani kebutuhan sesuai dengan fungsi tertentu. Seiring berjalannya waktu, tingkat kelayanan bangunan semakin lama, semakin berkurang. Selain karena faktor waktu, tingkat kelayanan bangunan dapat berkurang akibat faktor alam, seperti gempa bumi dan pergerakan tanah. Sebagai upaya untuk mengetahui tingkat kelayanan bangunan, maka diperlukan adanya Uji Kelayakan Bangunan. Salah satu pengujian yang dilakukan adalah pengukuran kemiringan bangunan. Pengukuran kemiringan bangunan bertujuan untuk menentukan apakah nilai kemiringan suatu bangunan masih memenuhi toleransi kemiringan yang diijinkan oleh standar peraturan yang berlaku ataupun tidak. Dengan demikian, berdasarkan hasil pengukuran tersebut kemudian dapat ditentukan tindakan tepat selanjutnya agar bangunan tetap dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan fungsinya.
Kata kunci: Pengukuran Kemiringan Bangunan, Standar Peraturan, Toleransi.
Abstract
Every building is built to fullfill the needs accordance to the certain functions. Over time, the building service level is decreasing. Besides the factor of time, the building service level can be decreas because the factor of nature, for example earthquakes and soil movement. In an effort to find out the building service level, a building feasibility test is needed. One of the tests carried out is the measurement of the building horizontality and verticality. The building horizontality and verticality measurement aims to determine whether the slope value of a building still meets the slope tolerance permitted by applicable regulatory standards. Therefore, based on the results of these measurements can then be determined the next appropriate action so that the building can still meet the needs in accordance with its function.
Keywords:Building Horizontality and Verticality Measurement, Regulatory Standards, Tolerance.
Setiap bangunan gedung dibangun untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan fungsi tertentu. Terdapat bangunan yang dibangun untuk keperluan perkantoran, tempat tinggal, pabrik, sekolah, ataupun keperluan lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu, kemampuan bangunan untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin menurun. Dengan kata lain, tingkat kelayanan bangunan semakin lama, semakin berkurang. Selain karena faktor waktu, tingkat kelayanan bangunan dapat berkurang akibat faktor alam, seperti gempa bumi dan pergerakan tanah.
Sebagai upaya untuk mengetahui tingkat kelayanan bangunan, maka diperlukan adanya uji kelayakan bangunan. Pengujian tersebut menjamin struktur bangunan gedung dalam kondisi yang baik dan memenuhi kriteria teknis bangunan yang layak, baik dari segi mutu (keamanan), maupun kenyamanan bangunan, sehingga dapat melayani kebutuhan sesuai dengan fungsinya.
Salah satu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayanan bangunan adalah pengukuran kemiringan bangunan. Pengukuran kemiringan bangunan bertujuan untuk menentukan apakah nilai kemiringan suatu bangunan masih memenuhi toleransi kemiringan yang diijinkan oleh standar peraturan yang berlaku atapun tidak. Dengan demikian, berdasarkan hasil pengukuran tersebut kemudian dapat ditentukan tindakan tepat selanjutnya agar bangunan tetap dapat memenuhi kebutuhan sesuai fungsinya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penulisan artikel ini yaitu :
Peralatan apakah yang digunakan dalam pengukuran kemiringan bangunan?
Bagaimana prinsip dari pengukuran kemiringan bangunan?
Bagaimana uraian metodologi atau langkah-langkah dari pengukuran kemiringan bangunan?
Bagaimana output atau keluaran yang dihasilkan dari pengukuran kemiringan bangunan?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penulisan artikel ini adalah memberikan informasi kepada pembaca mengenai pengukuran kemiringan bangunan yang pernah dilakukan oleh PT. Hesa Laras Cemerlang. Informasi tersebut meliputi peralatan yang digunakan, prinsip kerja, dan uraian metodologi dari pengukuran kemiringan bangunan.
Adapun manfaat dari artikel ini yaitu dapat dihasilkannya informasi mengenai pengukuran kemiringan bangunan yang pernah dilakukan oleh PT. Hesa Laras Cemerlang.
II. PEMBAHASAN
2.1 Peralatan yang Digunakan
Kemiringan bangunan gedung dapat diketahui dengan melakukan pengukuran horizontality dan verticality struktur-struktur gedung. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Electronic Total Station (ETS) tipe Nikon Nivo 5C nomor C200331 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
ETS tipe Nikon Nivo 5C merupakan Reflectorless Total Station yang memungkinkan pengambilan data tanpa menggunakan prisma melainkan melalui pembacaan laser, sehingga memungkinkan pembacaan koordinat objek pada tempat yang tidak dapat dijangkau prisma. Selain itu, data yang dihasilkan dapat lebih akurat dibandingkan penggunaan automatic level karena dengan teknologi reflectorless dapat mengurangi human error dalam pembacaan data.
2.2 Prinsip Kerja
2.2.1 Alur Kerja
Secara umum alur kerja pada pengukuran kemiringan bangunan gedung ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.
2.2.3 Prinsip Pengukuran
Prinsip umum dari pengukuran kemiringan bangunan gedung menggunakan ETS adalah dengan mengukur koordinat struktur bangunan yang tampak pada keempat sisi bangunan, baik berupa dinding, kolom, balok, maupun plat. Pengukuran kemiringan dilakukan per sisi gedung karena alat ETS hanya dapat menjangkau maksimal dua sisi bangunan pada satu kali berdiri alat (jika tempat bangunan berdiri merupakan lahan terbuka), maka untuk mengukur kedua sisi bangunan lainnya, perlu dilakukan pemindahan alat ke tempat lain. Adapun sistem koordinat yang digunakan pada pengukuran kemiringan bangunan merupakan sistem koordinat lokal, sehingga tidak memerlukan BM (Bench Mark). Hal ini disebabkan posisi bangunan yang dibutuhkan hanya merupakan posisi relatif antar struktur, bukan posisi sebenarnya di permukaan bumi.
Hasil dari pengukuran kemiringan ini berupa koordinat 3D dari struktur yang ditembak, yaitu koordinat X, Y, dan Z. Hasil tersebut kemudian diplot pada perangkat lunak untuk selanjutnya dilakukan pengolahan agar dapat diketahui nilai kemiringannya.
Nilai kemiringan kolom atau dinding dapat diketahui dari perbedaan koordinat X dan koordinat Y antara bagian atas dan bagian bawah kolom dan dinding. Sementara nilai kemiringan balok dapat diketahui dari perbedaan koordinat Z (perbedaan tinggi) antara sisi kanan dan sisi kiri balok. Sedangkan plat yang turun dapat diketahui dari perbedaan koordinat Z (perbedaan tinggi) pada area plat yang sama.
Adapun arah kemiringan setiap struktur bangunan dapat ditentukan berdasarkan sumbu X dan sumbu Y perangkat lunak. Ilustrasi untuk arah kemiringan struktur bangunan secara umum ditunjukkan pada Gambar 3 berikut.
2.2.3 Standar Peraturan
Setelah diperoleh nilai kemiringan struktur hasil pengukuran, kemudian pada nilai tersebut dilakukan verifikasi untuk menentukan apakah kemiringan atau lendutan struktur memenuhi batas kemiringan atau lendutan maksimum yang diijinkan. Aturan mengenai batas kemiringan atau lendutan maksimum yang diijinkan terdapat pada SNI 03-1729-2002.
Berdasarkan bab 6, sub bab 6.4.3 pada SNI tersebut, batas kemiringan atau lendutan maksimum yang diijinkan diuraikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Standar peraturan mengenai batas toleransi kemiringan struktur
2.3 Metodologi Pengukuran
Langkah-langkah dalam melakukan pengukuran kemiringan gedung menggunakan ETS diuraikan sebagai berikut :
mendirikan ETS dan melakukan centering alat ;
mendirikan reflektor dan melakukan centering ;
membidik reflektor sebagai backsight, yaitu arah (sudut) acuan untuk pengukuran koordinat titik ;
memasukan koordinat (lokal) tempat beridiri ETS ;
membidik struktur gedung yang tampak pada kedua sisi gedung ;
memindahkan alat ke tempat yang dapat menjangkau kedua sisi gedung lainnya dan melakukan centering ;
memindahkan reflektor ke tempat berdiri ETS sebelumnya dan melakukan centering ;
membidik reflektor sebagai backsight ;
membidik struktur gedung yang tampak pada sisi gedung lainnya ;
mengunduh file hasil pengukuran koordinat ;
melakukan plot hasil ukuran pada perangkat lunak ;
memeriksa koordinat struktur setiap sisi gedung ;
Suatu dinding dan kolom dikatakan lurus apabila :
Adapun dikatakan miring apabila :
Suatu balok dan plat dikatakan lurus apabila :
Adapun dikatakan miring apabila :
13. menghitung nilai kemiringan dengan mengukur perbedaan koordinat X dan koordinat Y antara bagian atas dan bagian bawah kolom atau dinding, perbedaan koordinat Z (perbedaan tinggi) antara sisi kanan dan sisi kiri balok, dan perbedaan koordinat Z (perbedaan tinggi) pada area plat yang sama.
2.4 Output yang Dihasilkan
2.4.1 Lokasi Struktur yang Diukur
Lokasi struktur bangunan Rumah Pompa Air Baku PT. Aetra Air Jakarta – Pulogadung yang dilakukan pengukuran kemiringan ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.
Adapun arah kemiringan struktur ditunjukkan pada Gambar 5 berikut.
2.4.2 Hasil Pengukuran Kemiringan Bangunan
Hasil pengukuran kemiringan bangunan berupa nilai kemiringan beserta toleransi yang diijinkan oleh standar peraturan yang berlaku. Dengan demikian, dapat diketahui status kemiringan struktur apakah masih dalam keadaan aman ataupun tidak. Hasil pengukuran kemiringan bangunan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Hasil pengukuran kemiringan bangunan
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat diketahui terdapat nilai kemiringan struktur yang melebih toleransi kemiringan yang diijinkan peraturan, yaitu Dinding As 1-8 / C. Selisih nilai kemiringan Dinding As 1-8 / C dengan toleransi kemiringan yang diijinkan peraturan yaitu 6.091 mm.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari artikel ini yaitu :
Peralatan yang digunakan dalam pengukuran kemiringan bangunan gedung adalah ETS (Electronic Total Station) tipe Nikon Nivo 5C.
Prinsip dari pengukuran kemiringan bangunan gedung adalah dengan menghitung perbedaan nilai koordinat 3D (X, Y, Z) untuk struktur yang sama. Kolom dan dinding yang miring ditandai dengan adanya perbedaan koordinat X dan Y antara bagian atas dan bagian bawah. Sedangkan balok dan plat yang lendut atau turun ditandai dengan adanya perbedaan koordinat Z (perbedaan tinggi) pada area plat yang sama.
Kemiringan bangunan diukur dengan melakukan pengukuran koordinat struktur gedung yang tampak, baik berupa kolom, dinding, balok, maupun plat. Kemudian, data koordinat tersebut diplot pada perangkat lunak untuk selanjutnya ditentukan nilai dan arah kemiringan setiap struktur. Selanjutnya, dengan mengacu pada standar peraturan yang berlaku, dapat dihitung toleransi kemiringan setiap struktur. Dengan demikian, pada akhirnya dapat diketahui status kemiringan struktur apakah masih dalam kondisi aman ataupun tidak.
4.2 Saran
Beberapa hal yang dapat diterapkan pada pengukuran kemiringan bangunan yaitu :
Sebaiknya menembak struktur dengan permukaan (finishing) yang rata karena akan mempengaruhi nilai kemiringan yang diperoleh.
Pada pengukuran kemiringan bangunan untuk keperluan monitoring, sebaiknya dibuat arah acuan pengukuran (backsight) dan tempat berdiri alat ETS yang tetap, yakni dengan memberi tanda yang tidak hilang atau menggunakan benda di sekitar sebagai tanda backsight dan tempat berdiri alat ETS.
DAFTAR PUSTAKA
SNI 03-1729-2002
DOKUMENTASI
Berikut Dokumentasi Proyek Pengukuran Kemiringan Bangunan yang dikerjakan oleh PT Hesa:
Pengukuran Kemiringan Bangunan PT. Aetra Air Jakarta – Pulogadung
Pengukuran Kemiringan Bangunan Bank Indonesia Kantor Cabang Palu – Sulawesi Tengah
Pengukuran Kemiringan Bangunan Aula PT. Emsindo – Bogor
Levelling Lantai Pabrik PT. Cahaya Prima Sentosa – Tanggerang
Pengukuran Kemiringan Bangunan Bank Indonesia – Jakarta
Informasi tentang Jasa Pemeriksaan Kemiringan Bangunan, silahkan menghubungi:
Komplek Rukan Mutiara Faza RB 1 Jl. Condet Raya No. 27, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia Email: kontak@hesa.co.id Telp: (021) 8404531 Whatsapp Bussines : 0813 828 271 82 or click this Link : Whatsapp